Langsung ke konten utama

Punya Nama Besar

“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati menggalkan nama”. Tak pelak Soeharto sebagai sebuah nama terus menimbulkan pro dan kontra. Namanya terus menghiasi media massa berikut dengan segala kontroversinya. Muali dari kejatuhannya, sakitnya di RSPP, sampai kematiannya dan mungkin sampai hari kiamat namanya akan terus bergaung. Begitu berartikah punya nama besar?

“Nama besar” adalah sebuah parodi didalam kehidupan manusia, sejak dahulu kala orang yang mempunyai nama besar, tak lepas dari kehidupan ekonomi politik yang meterbelakangi kehidupannya, namun nama besar banyak di dapatkan justru setelah kematian si empunya nama.

Ada

yang mendapat nama besar karena maha karyanya, menemukan sesuatu atau punya referensi yang jelas yang akan membuat nama itu menjadi besar.

Kita dapat ambil satu cuntoh, Galileo adalah seorang yang mempunyai nama besar ketika di menemukan beberapa hukum alam, yang justru banyak ditentang sewaktu ia hidup, namun setelah dia mati, namnya banyak dipergunjingkan oleh para ahli ilmu alam, begitu juga Marx, siapsih yang kenal dengan nabinya kaum proletar ini, bahkan sewaktu dia meneinggal saja hanya beberapa orang yang hadir waktu pemakamannya. Siapa yang menyangka separuh abad kemudian ia begitu berpengaruh di dunia baik secara pemikiran maupun citra penokohan, bahkan mampu membagi dunia ini menjadi dua. Sekali lagi itu justru terjadi setelah ia meninggal.

Terlepas dari semua yang diatas untuk mempunyai nama besar memang bukan perkara mudah, seseorang butuh sebuah maha karya, hasil daya cipta, atau daya pikir yang diakui oleh khalayak ramai, justru yang menjadi persoalan adalah ketika dia telah mempunyai nama besar, hasil karya cipta, atau segala daya yang dia curahkan seakan tak perlu lagi dipertanyakan kehebatan karyanya tersebut. Seorang pelukis yang telah melukis puluhan kali dan menghasilkan sebuah maha karya yang dasyat diakui bayak pihak, maka otomatis hampir kalaupun tidak semua karya yang lain diakui pula kehebatannya.

Menurut banyak kaum posmoderen inilah yang disebut sebagai kematian objek, maka tak perlu lagi melihat apakah lukisan, cerita, ataupun hasil karya yang lain bagus tidaknya, karena sekali lagi dia sudah punya nama besar. Contohnya begini, perkataan seorang yang selama ini dikenal sebagai intelektual, profesor, rektor universitas ternama, dijamin pasti akan dipercayai kebenarannya ketika berhadapan dengan statmen seorang mahasiswa, walaupun dengan atas nama kebenaran dan keadilan sekalipun, si mahasiswa akan tetap dianggap salah.

Bisa dibayangkan ketika nama besar ini jatuh ke tangan “pendekar berwatak jahat” maka kesesattan kebenaran akan hadir diambang mata. Makanya kemudian untuk mempunyai nama besar bukan perkara gampang. Perkataan para tokoh, pemimpin, kyai, dan para pendeta maupun tokoh agama lain, yang telah mempunyai nama besar akan menjadi kunci dari satu peradaban bangsa, kemudian timbul akhirnya pertanyaan lama, akankah sejarah ditentukan atau dibentuk olah orang besar atau bisa dibuat, ditentukan setiap manusia di bumi ini ?. Bagaimana dengan almarhum Soeharto?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Homeless woman's plea to Obama draws flood of support

She's being hailed as the "face of the economic crisis," and now Henrietta Hughes has become something of a media star after reaching out to President Obama in an emotional plea for help. President Obama talks to Henrietta Hughes at a town hall rally in Fort Myers, Florida, on Tuesday. Her message: My son and I are homeless, and we need immediate help. "I have an urgent need, unemployment and homelessness, a very small vehicle for my family and I to live in," Hughes told Obama Tuesday at a town hall rally in Fort Myers, Florida, as he pushed for passage of his stimulus plan in the S...

Wiranto's Campaign Advertorial Uses Soeharto

The People's Conscience Party (Hanura) started broadcasting its television campaign advertisement since 9 February 2009. The advertisement showed Hanura's chairperson, Wiranto, and former Indonesian President Soeharto. The advertisement starts with the number 2009 on the left side on a black background. Then, it is followed by a narration: "Two thousand nine, the crisis is up ahead. Why fear it? Wiranto says so." Then Wiranto image in a black suit appears with the national flag in the background and the logo 'Why Fear It?' (' Kenapa Harus Takut '), continued with the narration. "Many crises have shaped him into a strong and honest figure," the narration goes on, with images of the May 1998 riot. After images of the riot, then comes Soeharto's image, leader of the New Order, fastening what is probably a medal on Wiranto's uniform. Next to the image were the words: 'President Soeharto gives General Wiranto a chance to take the le...

Let’s Knock the Next!!

“Painting is just another way of keeping a diary “ -Pablo Picasso¬ Melukis, seperti kata Picasso diatas, merupakan sebuah jalan atau cara lain untuk menjaga sebuah diary (baca: cerita kehidupan). Melukis , apapun medianya, juga bentuk ekspresi lain dari sebuah seni yang menggambarkan tentang peradaban. Nah, bagaimana ekspresi lukisan dalam darah para pemuda sekarang? Menggunakan media apa, serta dengan semangat apa? Kemajuan sebuah peradaban selalu dapat tergambarkan dengan apa yang dilakukan oleh pemudanya,seni apa yang di hasilkan, budaya apa yang di telurkan, serta semangat apa yang dibangun. Kreativitas adalah sebuah bentuk olah pikir yang dapat diekspresikan dengan cara apapun. Termasuk melukis. Lukisan, entah dengan menggunakan media apapun adalah semangat kreativitas untuk menggambarkan apa yang dirasa, dilihat, didengar dan yang ingin disampaikan oleh si pelukis. Dan itu seni. Mungkin dari dulu lukisan selalu identik dengan kanvas (sebuah bahan sejenis kertas) seb...