Langsung ke konten utama

Cinta kata lain Dari Aku Ingin Tidur Denganmu

Tubuh sepasang mahluk tuhan yang berlainan jenis kelamin saling mengunci dengan posisi terbalik, tubuh si perempuan tak henti-henti menggelinjang, sedang si pria tetap tenang, hanya lidahnya yang bergerak menjilati pangkal selangkangan si perempuan. Sudah lebih dari lima belas menit mereka begitu dalam ruangan yang udaranya disejukan oleh mesin yang katanya mampu membunuh virus serta bakteri yang bertebangan di udara. Televisi 32 inci yang terletak di atas sebuah meja itu menyala tanpa ada yang menonton. Cahaya itu satu-satunya sumber cahaya dalam ruangan tersebut. Itulah ungkapan perasaan senang setelah ngobrol selama kurang dari sejam di sebuah kafe, semuanya tampak akan berakhir disini dan rasanya sepertiga persoalan dunia ini selesai sudah. 


29 April 1992, 08.30 malam.
Lampu-lampu yang menyinari kafe itu seperti kunang-kunang yang menari menyambut malam. Tidak begitu ramai, dipojok dekat pintu masuk duduk dua orang yang berbicara tentang bagaimana menjatuhkan Soeharto dari kekuasaan, di dekat jendela yang mengarah ke jalan raya sepasang muda-mudi tertawa cekikikan, mearsa geli entah karena apa.
Dua buah meja tampak kosong, pelayannya pun tampak ngobrol dengan santai di balik meja bartender. Ruangan kafe ini tidak begitu besar, namun mampu menghadirkan suasan yang luas, entah karena pilihan cat temboknya yang bewarna putih, dihiasi oleh lukisan serta potret abstrak, atau hanya kesilapan mata, karena memang tidak begitu banyak orang berseliweran. Disinilah banyak kisah menarik hadir untuk diketengahkan.
Duduk di salah satu meja di sudut bagian belakang, mukanya tak kelihatan, hanya leher sampai ke bagian pinggang yang diterpa cahaya. Tangannya memegang gelas, lalu memutar-mutarnya, aroma kopi yang begitu mengental akan tercium bagi siapa saja yang berdiri dekat sana. Sementara tangan satunya lagi memegang rokok kretek merk terkenal. Dia memakai kemeja kotak-kotak dipadu dengan celana jeans. Kira-kira sudah setengah jam dia disana. Sepertinya dia menunggu seseorang.
Pada hembusan asap rokok hasil hisapan yang ketiga, seorang perempuan berjilbab lebar bewarna ungu muda menghampiri meja itu, dengan mengucapkan salam khas agama Islam dia menyapa laki-laki tersebut. “sudah lama menunggu mas?” katanya sambil tersenyum. Maaf saya terlambat, tadi harus ke kampus dulu ambil tugas”, lanjutnya. Laki-laki tersebut hanya menganggukan kepala dan tersenyum agak sedikit masam. “oya mas ada apa? Kok tiba-tiba ngajak ketemuan?”.
“begini rin, aku sudah lama pengen ketemu ama kamu dan mau ngobrolin sesuatu yang agak serius sama kamu, aku ingin menayakan sesuatu, apa kata lain dari cinta menurutmu?”.
Suasana agak hening sebentar....
“kok tiba-tiba menayakan hal itu mas”
“nggak aku cuman pingin dalam sudut pandang mu”
‘hmmmm......cinta menurutku bentuk ungkapan perasaan seeorang terhadap orang lain”
“hanya itu?...”
“ada cinta kepada orang tua, cinta kepada adik, kakak, cinta kepada manusia lainnya....dan menurut agama Islam konsep pacaran juga tidak dikenal, yang ada hanya ‘ta’aruf’ atau proses saling mengenal satu lama lain.....menurut pandanganku sih begitu mas...”
Kembali rokok yang hanya tinggal seujung kuku dia hisap dalam, sebelum dicelupkan ke dalam asbak yang terbaut dari kaca. Hembusan asap terakhir menunjukan rasa sedikit kecewa atas jawaban tadi. “ya sudah, kamu habiskan minummu dan langsung pulang ya... sudah malam, aku juga ada janji ketemu sama orang”
“terus kapan kita bisa ketemu lagi mas?”
“ntar aku hubungi kamu lagi...”
Rini pun beranjak pergi setelah ia betulkan jilbabnya yang agak miring sehingga memperlihatkan auratnya. Sepeninggal Rini, laki-laki tersebut kembali mengambil rokok dan menyalakannya...matanya kembali melirik ke arah jam. Baru jam setengah sepuluh pikirnya. Suasana kafe tersebut tenyata sudah agak berubah, tak ada lagi tertawa cekikikan sepasang remaja tadi, yang ada hanyalah tertawa lepas para pekerja yang ingin menghabiskan malam sabtu ini setelah lima hari kerja penuh berikut lembur serta bonus caci maki bosnya. Wajar kemudian setiap pekerja butuh tertawa lepas, bukan senyuman, cengiran basa-basi menyenagkan orang.
Kafe ini agak berbeda dengan kafe kebanyakan, jikalau kafe lain menghadirkan live musik atau putaran cakram padat pada player-nya, kafe ini malah tidak menghadirkan musik sedikitpun, tak ada alat-musik, tak ada panggung, tak ada apa-apa, tak jauh berbeda dengan warung kopi di pinggir jalan sebenarnya. Namun karena itulah ia menynangi kafe ini, dia bisa menikmati suasana lain. Hanya itu alasan ia sering menunjungi kafe ini.
Kembali tergiang dikepalanya, petemuan tadi siang di rumah Mawar, dirumah yang sederhana itu ia duduk termenug lama sewaktu Mawar tengah menyiapkan secangkir kopi di belakang. Ini merupakan kali ketiga dia menunjungi rumah ini, setelah yang terakhir berakhir dengan kericuhan, waktu itu ia disangka selingkuh dengan Mawar, padahal ia tahu Mawar adalah tipikal istri yang setia, tak akan berani ia menghianati sang suami walaupun ia tidak mencintanya. Ia waktu itu masih yakin Mawar adalah calon istrinya, jodohnya yang diciptakan tuhan dari tulang rusaknya. Mawar adalah segalanya, mungkin sampai sekarang. Tadi siang Mawar kembali menolak cintanya, Mawar menyatakan statusnya sekarang sebagai penghalang perpaduan cinta mereka.
Ketika beranjak dari rumah Mawar, kembali ia berpikir, apa sih hebatnya Mawar?. Secara fisik dia anggap biasa saja, payudara tak besar-besar amat, pantat juga demikian, kulit tak begitu terawat. Secara sifat, Mawar juga tak jauh bebeda dengan perempuan lainnya, suka dimanja, suka belanja, suka berpikir aneh-aneh, seperti seorang sutradara yang mempunyai skenario dikepalanya, dan menuntut setiap peran harus dimainkan secara maksimal kalau tidak siap-siap ditendang.
Aku mungkin penasaran saja, hati ini mungkin penasaran saja untuk mengetahui bagaimana kalau aku memang pacaran sama Mawar, bagiamana rasanya, enakkah?, bahagiakah?, senangkah?. Aku juga penasaran bagaimana rasanya menggandeng Mawar ke setiap sudut kota, bagaimana rasanya memamerkannya ke seluruh penghuni kota, serta bagaimana rasanya menyentuh bibir tipisnya dengan bibirku. Mungkin cuman itu alasan aku tetap memujanya.
Gemincing pintu kafe membuyarkan pikirannya, sekilas ia melihat seorang perempuan muda masuk dan kemudian menghampiri mejanya, memakai baju kaus bergambar abstrak khas distro, bercelanakan jins model pinsil, sepatu kets, tas selempang yang senada dengan kausnya, tak lupa sederetan gelang melingkar di lengan kirinya. Tanpa basa-basi perempuan yang kalau dihitung-hintung berusia belum genap duapuluh tahun itu mengambil sebatang rokok dan langsung menyalakannya, baru setelah hisapan ketiga dia memulai pembicaraan.
“gimana brur...dah lama..?, sori gue agak telat..biasa nongkong dulu tadi di tempat temen...”
“hmmm.. aku juga baru nyampe...baru habis dua batang rokok...dah lama juga ya kita tidak ketemu...?. apa kesibukanmu sekarang?
“Yup..begitulah...aku masih coba melatih tehnik gitar...tapi tampaknya tidak begitu menunjukan peningkatan, gue masih lemah di arpegio dan, pinch harmonic. Baru dua bulan ini gue menguasai tehnik tipping dan legato”.
“Pacarmu gimana? Lanjutku
“ ah sudahlah...dia makin nggak asik...masak dia nuntut gue ngasih tau ada dimana, sama siapa, pulang jam berapa dan seabrek tuntutan lainnya, yang gue anggap terlalu kekanak-kanakan”
“btw ada apa kok tiba-tiba ngajak ketemuan..gue mo pulang nih..”
“Kok buru-buru amat sih...santai aja disini dulu..kita ngobrol...”
“bukan begitu... dah seminggu blom pulang kerumah...lo nggak takut nanti dilaporin ke polisi ama babe gue dengan tuduhan melarikan anak dibawah umur, pencabulan serta perkosaan.?’
“hahahhahhhahha”
“jangan ketawa, serius nih..cepetan ngomong...”
“oke...oke...gini poy...kamu tahu kan kerjaanku...tiba-tiba otakku ini berontak pengin tahu apa arti kata cinta”
“hahaha dasar laki-laki.....aneh....gue pikir ada berita penting apa sehingga kita harus ketemu....kok nggak lewat telepon aja sih...kalo cuman nanya itu..sekarang teknologi dah canggih, mamfaatkan dong..”
“justru itu...secanggih apapun teknologi..dia tak bisa menggantikan mood of communication, kita nggak bakalan tahu ekspresi lawan bicara, kita tak tahu gestur tubuh lawan bicara, kita juga nggak tahu mimik wajah lawan bicara, dan akhinya kita bisa menyalahkan arti dari poin pembicaraan, so..., bertemu dengan betatap muka adalah soal penting dalam hubungan antar manusia..”
“oke...lo jangan mulai ceramah deh...untuk jawab pertanyaan lo tadi gue coba jawab......hmmmm....cinta tidak ada...cinta itu hanyalah omong kosong ratapan anak manusia, cinta adalah milik orang-orang yang mempunyai jiwa yang labil, yang butuh pegangan, cinta tak lain dari pembicaraan bodoh sambil membayangkan masa depan, hanya seorang pemimpi yang tetap membicaakan cinta, dan yang terakhir cinta hanyalah kata lain untuk mengatakan aku ingin tidur denganmu”
Lagi-lagi kehinengan menyelinap di tengah pembicaraan.
“kok diam? Bagaimana menurutmu? Lanjut popoy.
“nggak aku bepikir...”
“bepikir apa”
“berpikir...jangan-jangan saat ini aku mencintaimu...”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wiranto's Campaign Advertorial Uses Soeharto

The People's Conscience Party (Hanura) started broadcasting its television campaign advertisement since 9 February 2009. The advertisement showed Hanura's chairperson, Wiranto, and former Indonesian President Soeharto. The advertisement starts with the number 2009 on the left side on a black background. Then, it is followed by a narration: "Two thousand nine, the crisis is up ahead. Why fear it? Wiranto says so." Then Wiranto image in a black suit appears with the national flag in the background and the logo 'Why Fear It?' (' Kenapa Harus Takut '), continued with the narration. "Many crises have shaped him into a strong and honest figure," the narration goes on, with images of the May 1998 riot. After images of the riot, then comes Soeharto's image, leader of the New Order, fastening what is probably a medal on Wiranto's uniform. Next to the image were the words: 'President Soeharto gives General Wiranto a chance to take the le
Dari postingan terakhir di blog ini, tanpa terasa kurang lebih 8 tahun blog ini dibiarkan sendirian di jagat maya ini. saya sebagai Tuhannya ini blog, merasa malu sendiri ketika seorang kawan menanyakan, "masih menulis sob"?. "hehhe" hanya itu yang keluar dari mulut ini. Setelah melakukan tracking jejak digital untuk menemukan password , yang Alhamdulillahnya berhasil, maka kemudian saya menulis ini. Banyak hal yang terjadi 8 tahun terakhir, saya menikah dan punya anak (dengan wanita, tentunya) presiden berganti, seseorang dari kalangan rakyat biasa, yang tidak memiliki trah darah biru, bukan Jendral, memimpin Indonesia. luar biasa kepopulerannya. Dengan postingan baru ini, nantinya (saya mencoba meneguhkan diri) untuk terus menulis, paling tidak di blog ini. layak atau tidak mungkin kalianlah yang akan menilai. Mohon doanya, semoga kali ini saya Istiqomah.

Let’s Knock the Next!!

“Painting is just another way of keeping a diary “ -Pablo Picasso¬ Melukis, seperti kata Picasso diatas, merupakan sebuah jalan atau cara lain untuk menjaga sebuah diary (baca: cerita kehidupan). Melukis , apapun medianya, juga bentuk ekspresi lain dari sebuah seni yang menggambarkan tentang peradaban. Nah, bagaimana ekspresi lukisan dalam darah para pemuda sekarang? Menggunakan media apa, serta dengan semangat apa? Kemajuan sebuah peradaban selalu dapat tergambarkan dengan apa yang dilakukan oleh pemudanya,seni apa yang di hasilkan, budaya apa yang di telurkan, serta semangat apa yang dibangun. Kreativitas adalah sebuah bentuk olah pikir yang dapat diekspresikan dengan cara apapun. Termasuk melukis. Lukisan, entah dengan menggunakan media apapun adalah semangat kreativitas untuk menggambarkan apa yang dirasa, dilihat, didengar dan yang ingin disampaikan oleh si pelukis. Dan itu seni. Mungkin dari dulu lukisan selalu identik dengan kanvas (sebuah bahan sejenis kertas) seb